Singkong yang lekat dengan pelabelan kelas bawah, diubah Firmansyah menjadi cemilan renyah yang gengsinya tak kalah hip dengan popcorn, french fries, ataupun crispy snake impor. Dari modal tiga juta rupiah, omzetnya kini telah mencapai miliaran rupiah bahkan bisnis waralaba dari singkong pun telah dilakukannya. Bukan hanya keuntungan secara finansial yang diraih, cita-cita membuka lapangan pekerjaan bagi orang muda pun, dicapainya juga.
Pada zaman penjajahan dulu, kalau mendengar cerita dari nenek atau kakek kita, singkong dianggap sebagai penyelamat hidup masyarakat Indonesia. Saat itu jarang sekali ada yang mampu membeli beras untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Singkong (yang kerap disebut sebagai roti sumbu) lalu diolah menjadi tiwul dan menjadi makanan pokok.
Sekarang ini, singkong bisa dinikmati dalam berbagai rasa dan tampil dalam berbagai rupa. Secara tradisional, singkong bisa ditemukan di gerobak gorengan kaki lima, atau berbentuk getuk lindri berwarna-warni banyak pula yang diolah menjadi keripik kemasan dengan berbagai merek.
Namun, di era digital seperti sekarang ini sebagian masyarakat Indonesia masih menganggap singkong sebagai camilan yang tidak bergengsi sama sekali, bahkan tidak bisa ditandingkan dengan hamburger atau hotdog.
Kenyataannya, tidak demikian. Coba saja masuk ke hotel bintang lima di kota besar, penganan dan singkong (berupa getuk atau sudah diolah menjadi tapal bakar) menghiasi meja dessert. Otentisitas seni kuliner lokal yang sekarang sedang marak, bergerak mencari bahan makanan tradisional yang nyaris terlupakan. Demikianlah halnya ketika seorang Firmansyah muda mengembangkan camilan ringan dari bahan makanan asli negeri sendiri.