Ia bisa memilih hidup ‘aman’ dengan menjadi karyawan di sebuah biro arsitek di Singapura. Namun, menjadi mengusaha memberikan tantangan dan kesempatan yang menurutnya tak terbatas. Modal utamanya : tekad, kreativitas, dan pemanfaatan aset yang telah dimilikinya. Dari garasi orang tua di Bandung, biro arsitenya kini telah dapat menangani proyek di Medan, Padang, hingga Balikpapan.
APABILA KEBANYAKAN ORANG tua tidak mcnihilanaknya berwirausaha saat dewasa, sejak belia Yohan Tirtawijaya telah dilatih mendukung usaha kedua orang tuanya. Pembelajaran etos kerja keras dan pantang menyerah sudah dirintisnya sejak ia mulai dapat memahami usaha orangtua yang, menjalankan usaha toko grosir. “Ayah saya adalah seorang pekerja keras. Saya ingat hari Minggu pun beliau bekerja demi mencari nafkah untuk keluarga,” kenang Yohan akan ayahnya yang memiliki jam terbang tinggi dan pernah jatuh bangun dalam menjalankan usaha.
Etos kerja sedemikian rupa itu diwariskan kedua orangtuanya. Sewaktu masa sekolah, seringkali Yohan diminta membantu melayani pembeli ataupun sekadar membantu apa saja yang bisa dikerjakan. Begitu tekunnya ia membantu orangtua, pada usia 15 tahun ia sudah bisa mengendarai mobil karena tiap hari menjadi kenek – membantu sopir mengirim barang ke konsumen yang letaknya di pinggiran kota. Hidup tidaklah gampang – barangkali itulah the moral of story diajarkan kedua orangtuanya.
Uniknya, pengalaman masa kecil itu menuai ‘ideologi’ Yohan yang baru. “Saya berketetapan tidak suka berjualan karena hanya melakukan rutinitas yang membosankan dan kurang menantang.”