KOTA YOGYAKARTA MENYIMPAN pesona yang tidak pernah pudar. Inspirasi mengalir menyatukan budaya dan kreativitas di kota pelajar ini. Demikian pula halnya yang terjadi pada Syahmahfuz Chazali. Dalam membangun kreativitasnya, Syam melakukan inovasi dengan memuat gerabah berbahan dasar limbah sapi. Melalui Faerumnesia grup perusahaan yang dirintisnya sebagai pembuat gerabah, Syam membangun usahanya di Kasongan. Kini Syam tidak saja mengembangkan gerabah dengan bahan dasar limbah sapi, tapi juga menumbuhkan usaha kreatif di lingkungan terdekatnya.
Q : Betulkah gerabah indah ini terbuat dari kotoran sapi ?
A : Benar. Limbah kotoran sapi ini sekitar 80-90%. Kalau dibakar tidak akan pecah. Dulu, di kasongan – daerah usaa kami –gerabah dibuat dari tanah bercampur pasir. Selama itu, tanah banyak dikeruk, unsur haranya hilang, dan merusak lingkungan. Saya lantar berpikir, apakah ada materi yang dapat menggantikan unsur tanah. Lalu saya lihat bahwa masyarakat disana banyak memiliki sapi yang hidupnya serumah dengan pemiliknya. Sungguh bukan hal yang baik untuk kesehatan. Apalagi limbahnya biasa hanya dijadikan pupuk maupun biogas, yang efektivitasnya sangat sedikit. Lalu saya berpikir, bagaimana agar limbah itu diolah menjadi suatu barang, bukan hanya pupuk dan biogas, tetapi juga gerabah ?
Q : Bagaimana anda merangkai usahanya :
A : Di kampus ada program aktivitas mahasiswa. Lalu saya dan teman-teman mencari ide yang bagus. Pada sebuah seminar tentang entrepreneurship, saya berdiskusi dengan pembicaranya soal menghasilkan produk dari limbah peternakan sapi. Ide ini juga saya tanyakan pada dosen saya, yang lalu menyarankan agarimbah dibuat kompos terlebih dahuu. Dari situ saya datang ke Kasongan, pusat pengrajin gerabah, dimana saya bertemu dengan pengrajin yang sangat membantu kami, Pak Purwanto. Syarat yang diberikan beliau untuk memasarkan gerabah dari limbah sapi adalah : tidak boleh mengakibatkan pembeli gatal dan tidak boleh berbau. Dosen saya memberi tahun caranya membuat gerabah dengan menggunakan teknik tertentu.
Q : Lalu apa pengembangannya ?
A : Memang tidak hanya gerabah yang kami buat. Kami juga membuat batu bata yang terbuat dari limbah sapi – pesanan dari India. Kedua, dekomposter yang saat ini banyak peminatnya. Bentuknya semacam gentong tapi bisa dilukis semaunya, misal motif batik atau apa saja.
Dekomposter banyak dipakai ibu-ibu untuk menampung sisa-sisa sayuran. Bila dimasukkan sampah kedalamnya dan diberi cairan activator, dalam waktu 1-2 minggu sudah dapat dijadikan pupuk. Pupuk kan bisa dikembalikan lagi ke tanah. Dengan demikian, sebuah rumah sudah memiliki siklus sampah sendiri. Jadi kami punya visi menjadi perusahaan yang bergerak dala bidang lingkungan yang akan membantu seluruh dunia mengatasi lingkungannya. Saat ini, omzet kami baru sekitar 150 – 500 juta per Januari – Novembe tahun ini. Tahun depan kita sudah mempunyai pesanan pupuk per bulan 2 miliar rupiah atau sama dengan 100.000 liter pupuk.
Q : Dunia boleh krisis, orang boleh menakut-nakuti hidup sulit, tapi ada pengusaha yang mampu melihat peluang.
A : Inti pemikiran saya : kalau kita ingin menjadi orang yang sukses, kita harus mampu melihat masalah dengan cara yang berbeda. Kalau ada masalah, jangan dilihat masalahnya saja, tetapi apa peluang yang muncul dari masalah itu. Setiap masalah ada peluang. Dan dari peluang itu bisa menjadi uang.
Meski ide awal dilakukan tim Faerumnesia, proses produksi gerabah organik dalam skala bisnis melibatkan banyak pihak. Untuk mendapatkan bahan baku mereka bekerjasama dengan kelompok peternak sapi di daerah Bantul. Selain memudahkan proses produsi, di sisi lain strategi itu menaikkan nilai tambah tlethong di tingkat peternak sapi.
Untuk proses pencetakan gerabah yang biasanya makan waktu sebulan, tim Faerumnesia kembali melibatkan kalangan perajin di Kasongan. Pertimbangannya selain telah memiliki nama, komunitas pengrajin disini sudah terbiasa mendapat pesanan dalam jumlah besar. Maka ketika beberapa waktu lalu di Universitas Trisaksi memesan seribu buah dekomposter rumah tangga berbentuk guci, mereka tidak kelabakan.
Sumber Buku: Wirausaha Muda Mandiri