Strategi Promosi Jerry Aurum Wirianta

Jerry Aurum WiriantaTERBIASA MENDAPATKAN SEGALA sesuatu melalui usaha, Jerry Aurum memutuskan untuk berkecimpung dalam dunia wirausaha dalam bidang fotografi dan desain grafis. la memulai usahanya dengan membagi-bagikan kalender hasil karya kepada sejumlah perusahaan sebagai strategi promosi. Kini ia tak hanya memiliki banyak klien dari dalam dan luar negeri tetapi juga memiliki kantor yang memadai bagi bisnisnya. Kecintaannya kepada sang bunda membuatnya tergerak untuk membuat sebuah buku berjudul Femolography. Buku yang pada awalnya diterbitkan di Singapura ini menjadikan perempuan sebagai sumber inspirasi di balik lensa. Dengan bekerja secara profesional dan mampu membidik pasar dengan baik, Jerry membuktikan sebuah kreativitas menjadi penentu bagi lahirnya sebuah perubahan.


Q: Saya dengar Anda barn saja membuat blog Making a Difference Through Creativity (jerryaurum.wordpress.com). Apakah itu sebagai usaha untuk mendekatkan diri ke semua orang dan sebagai sarana untuk membagi jepretan kamera Anda ke khalayak umum?

A: Basically saya memiliki dua website. Yang pertama merupakan official website kami dan yang kedua ini – berjudul Making Difference Through Cre­ativity – merupakan respons saya terhadap rasa ingin tahu orang tentang ide, filosofi, dan hal-hal tersembunyi di balik layar pemotretan. Seperti ba­gaimana saya mendapatkan inspirasi, mengapa saya memutuskan sesuatu hal, tempat atau model untuk difoto, atau problem apa saja yang muncul selama pemotretan. Keseluruhannya diungkap secara tuntas di situs ini.

 

Q: Usaha Anda berawal dari hobi memotret atau dari bangku sekolah?

 

A: Awalnya dari hobi. Sewaktu masih kecil – sekitar usia lima tahun – saya wdah mencoba-coba kamera milik ibu saya. Lalu seat duduk di kelas dua SMA, dari lubuk hati yang paling dalam saya berkeinginan untuk serius dalam dunia fotografi. Saya buktikan dengan menghabiskan seluruh tabungan mass kecil untuk membeli kamera yang pertama.

Q: Anda menuntut ilmu di bidang yang berkaitan dengan desain grafis, sehingga latar belakang pendidikan mendukung dan sejalan dengan pekerjaan Anda. Tapi, mengapa Anda tidak bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang desain grafis?

 

A: Saya sempat bekerja selama tiga bulan dan tiga minggu, tetapi ternyata keinginan saya untuk menjadi seorang entrepreneur jauh lebih besar dari­pada dedikasi saya kepada kantor. Kemudian saya berhenti, namun selama bekerja saya sudah melakukan selfpromotion sendiri berupa kalender yang berisi foto-foto hasil karya saya. Kalender-kalender itu berjumlah 300 buah, Seluruhnya saya kirim ke berbagai perusahaan. Hasilnya saya mendapatkan lima client.

Q: Dan dari lima client itu, Anda bisa survive?

A: Ya, karena saya menggunakan perhitungan yang sangat sederhana. Dari 300 kalender yang saya kirimkan, saya hanya mengharapkan satu persen saja yang merespons. Artinya, tiga klien perusahaan. Katakanlah hitungan untuk satu klien yang saya dapatkan itu sebesar empat juta rupiah, maka dari tiga klien yang saya dapatkan, sudah dapat mengembalikan semua modal yang saya habiskan untuk biaya cetak. Kelima klien itu datang secara bertahap. Dua minggu datang satu, kemudian seminggu kemudian satu lagi datang, dan begitu seterusnya.

Q: Mengapa Anda menekuni bisnis yang berawal dari hobi?

A: Saya pikir itu sangat penting. Kite bisa menekuni dan menghidupi diri kita dengan sesuatu yang amat kita cintai. Sepengetahuan saya, hanya lima persen dari populasi orang bekerja yang dapat mengatakan bahwa mereka betul-betul menyukai apa yang mereka lakukan. Dari yang lima persen tersebut, hanya 40% yang mengatakan selain suka, mereka juga senang dengan penghasilan yang diperoleh. Artinya, hanya dua orang dari 100 orang. Padahal, dengan mengerjakan sesuatu yang sesuai de­ngan kesenangan maka akan terasa bedanya. Begitupun halnya dengan kepuasan atas reward yang kita dapat.

Q: Semangat dan kiat-kiat apa yang membuat Anda menjadi spesial dibandingkan fotografer yang lain? Sebab kabarnya Anda bisa bertahan hanya dengan empat atau lima order dalam sebulan.

A: Ada beberapa hal yang saya pikir secara fundamental memang harus betul-betul diterapkan. Kebetulan Indonesia adalah market yang masih sangat besar, sehingga dengan menerapkan beberapa hal yang sederhana, kita sudah berada selangkah di depan yang lain. Yang utama adalah profesionalisme. Tidak banyak orang – terutama yang berprofesi seniman – yang bisa menepati janji. Jika pemesan berkeinginan agar delivery itu terjadi besok, sebelum jam tiga sore, ya itu harus dipenuhi. Apalagi pemotretan dapat melibatkan biaya ratusan juta rupiah. Jika itu semua tergantung mood si seniman akan menjadi hal yang sangat gawat.

Q: Baru-baru ini Anda menerbitkan buku berjudul Femalography yang berisi karya-karya fotografi Anda. Di salah satu toko buku terbesar, buku ini hahkan disebut sebagai second best recommended book. Apakah ini meru­pakan salah satu usaha Anda memperkenalkan diri pada potential client?

A: Pada waktu itu saya berpikirjika di dunia komersial rata-rata kita harus molahirkan karya-karya yang memang berkaitan dengan bisnis, maka sebagai seniman kita tetap harus membuat satu jalur tempat kita bisa menuangkan ide dan kreativitas tanpa batas. Tetapi jika kita hanya membuat sesuatu sekadar hanya membuat saja namun tidak menjadi apa-apa, itu hanya akan membuang-buang uang dan tenaga. Jadi saya berpikir, mengapa saya tidak betul-betul berkonsentrasi membuat suatu project yang berjangka lonjang dan series hingga dapat dibuat menjadi buku sekalian.

Q: Dalam buku Anda ini hanya ada gambar saja, tidak ada teksnya. Apakah ini karena prinsip a picture is a million words?

A: Betul. Kebetulan saya juga tidak begitu pintar menulis.

Q: Saya juga pernah mendengar perusahaan Anda tumbuh menjadi besar. Anda lalu menambah karyawan namun kemudian Anda kurangi lagi. Mengapa hal itu terjadi? Anda kurang happy atau karena mood?

A: itu memang didasari mood. Tetapi saat ini saya mencoba untuk tidak menyerah pada mood. Kalau saya tidak sedang happy, saya akan mencari cara supaya saya bisa happy lagi tanpa merugikan diri sendiri. Dari situ saya morasa, meskipun mood kita sedang tidak baik, kita harus tetap memaksa otak untuk berpikir.