Seperti dikemukakan Prof. Koentjaraningrat, bahwa upacara perkawinan pada dasarnya merupakan suatu peralihan terpenting dalam daur hidup seseorang, yaitu peralihan dari tingkat hidup remaja ke tingkat hidup berkeluarga. Inti dari upacara pernikahan, tak hanya melulu pada ritual upacara yang dilakukan, namun juga detail seperti riasan pengantin.
Seperti dikutip dari ullensentalu, salah satu tata rias dan busana pengantin adalah Paes Ageng Gaya Yogyakarta. Sampai masa pemerintahan Sultan Sultan HB VIII, paes ageng ini hanya boleh dikenakan oleh kerabat raja. Baru pada masa pemerintahan raja berikutnya, Sultan HB IX (1940), mengijinkan masyarakat umum memakai busana ini dalam upacara pernikahan.
Pemakaian busana paes ageng sangat rumit, memerlukan ketekunan dan ketelitian yang di dalamnya terkandung kesakralan maupun makna filosofi dalam setiap detail rias wajah, busana, dan aksesorinya. Untuk itu segala sesuatu yang berhubungan dengan paes dipercayakan pada seorang juru rias paes pengantin. Baik perias maupun pengantin putri yang dirias wajib berpuasa sebelum menjalankan acara. Tujuan utamanya adalah mengendapkan perasaan untuk membersihkan jiwa dan menguatkan batin agar dapat melaksanakan tugas dengan baik dan terhindar dari malapetaka. Masyarakat Jawa percaya bahwa kebersihan dan kekuatan batin juru rias akan menjadikan pengantin yang diriasnya cantik molek dan bersinar.
Nah, berikut adalah tahapan merias wajah gaya paes ageng beserta makna dan filosofinya, menurut ullensentalu:
Tahap 1: Ratusan
Proses pengasapan bahan ratus yaitu wewangian tradisional pada rambut agar harum
Tahap 2: Halup-Halupan
Atau disebut juga prosesi cukur rambut. Di mana dilakukan pembersihan wajah pengantin dengan cara mencukur rambut halus yang tumbuh di dahi atau memotong rambut menjuntai ke dahi sehingga wajah tampak bersih dan siap untuk dibuat pola wajah.
Tahap 3: Cengkorongan
Merupakan pembuatan pola wajah paes ageng gaya Yogyakarta. Penentuan bentuk dan pembuatan cengkorong ini dikerjakan dengan pensil dan hasil akhirnya berupa gambar samar-samar/tipis.
Cengkorong meliputi:
1. Citak pada dahi, yaitu bentuk belah ketupat kecil dari daun sirih pada pangkal hidung di antara dua alis. Ada beberapa versi mengenai makna filosofinya, antara lain bahwa citak sebagai refleksi mata Dewa Syiwa yang merupakan pusat panca indra sehingga menjadi pusat keseluruhan ide. Pendapat lain mengatakan bahwa citak sebagai pemberi watak pada keseluruhan ide paes.
2. panunggul, pangapit, panitis, godeg
Panunggul dibuat di atas citak, di tengah-tengah dahi, berbentuk meru melambangkan Trimurti (tiga kekuatan dewa yang manunggal). Di tengah-tengah panunggul diisi hiasan berbentuk capung atau kinjengan, yaitu seekor binatang yang selalu bergerak tanpa lelah dengan harapan agar pengantin selalu ulet dalam menjalani hidup.
Panunggul berasal dari kata tunggal, yaitu terkemuka atau tertinggi, mengandung makna dan harapan agar seorang wanita ditinggikan atau dihormati.
Pengapit terletak di kiri kanan panunggul berbentuk seperti meru (gunung) namun langsing.
Penitis terletak di antara pengapit dan godheg.
Pengapit, panitis, godheg dibuat sebagai keseimbangan wajah, maka diletakkan simetris dengan panunggul.
3. Alis dibuat berbentuk menjangan ranggah atau disebut juga tanduk rusa.
Rusa merupakan simbol kegesitan, dengan demikian kedua pengantin diharapkan dapat bertindak cekatan, trampil, dan ulet dalam menghadapi persoalan rumah tangga. Daerah sekeliling mata dibiarkan tidak terjamah oleh boreh, diberi gambaran yang disebut jahitan. Untuk membentuk mata lebih tajam dan anggun sehingga orang-orang akan mengaguminya.
Tahap 4: Kandelan
Setelah cengkorongan selesai dibuat sesuai pola dasar dan tampak pantas (layak), baru kemudian paes wajah diselesaikan dengan menebalkan garis-garis yang samar menjadi paesan dadi (paes jadi).
Tahap 5: Dados:
Selesai kandelan, dilanjutkan dengan dandos jangkep pengantin (pengantin berdandan lengkap) yang meliputi sanggul pengantin, perhiasan pengantin, kain pengantin, baju pengantin, dan dandosan (berbusana) lain selengkapnya.