Referat Kedokteran: Patofisiologi, Diagnosis dan Penatalaksanaan Disfungsi Ereksi


Pada bagian sebelumnya sudah dibahas tentang Etiologi dan Klasifikasi Disfungsi Ereksi, dan pada bagian ini akan dibahas seputar Referat Kedokteran: Patofisiologi, Diagnosis dan Penatalaksanaan Disfungsi Ereksi.

Patofisiologi Diagnosis Disfungsi

Mekanisme terjadinya disfungsi ereksi menurut Hilsted dan Low (1993) merupakan kombinasi neuropati otonom dan keterlibatan arteriosklerosis arteri pudenda interna.

 

Menurut Moreland (sebagaimana dikutip oleh Wibowo, 2007) ada dua pandangan utama patofisiologi kasus disfungsi ereksi, pada hipotesis pertama perubahan yang dipengaruhi tekanan oksigen pada penis selama ereksi ditujukan untuk mempengaruhi struktur korpus kavernosum dengan cara menginduksi sitokin yang bermacam–macam.

Faktor vasoaktif dan faktor pertumbuhan pada kondisi tekanan oksigen yang berbeda akan mengubah metabolisme otot polos dan sintesis jaringan ikat. Penurunan rasio antara otot polos dengan jaringan ikat pada korpus kavernosum dihubungkan dengan meningkatnya vena difus dan kegagalan mekanisme penyumbatan vena.

 

Hipotesis tersebut menyertakan bukti adanya perubahan pada fase ereksi penis malam hari dan perubahan sirkadian hubungannya dengan oksigenasi yang penting dalam pengaturan ereksi sehat. Hipotesis yang lain menyatakan bahwa disfungsi ereksi adalah hasil dari ketidakseimbangan metabolik antara proses kontraksi dan relaksasi di dalam otot polos trabekula, misalnya dominasi proses kontraksi. Kedua hipotesis ini dikaitkan dengan strategi penanganan DE.

Menurut Barton dan Jouber (2000), pada kasus–kasus dengan penyebab biologis jelas (misal neuropati diabetika), pengobatan dan akibat dalam jangka panjang kelainan seksual sekunder tersebut akan terpengaruh juga oleh faktor psikoseksual.

Penyebab organik DE termasuk vaskuler, neurologik (saraf), hormonal, penyakit, atau obat–obatan tertentu dan sejumlah orang mempunyai faktor penyebab ganda. Pada faktor neurologik dapat berupa: stroke, penyakit demielinasi, kelainan dengan bangkitan atau kejang, tumor atau trauma sumsum belakang dan kerusakan saraf tepi.

Dua pertiga kasus DE adalah organik dan kondisi komorbid sebaiknya dievaluasi secara aktif. Penyakit vaskular dan jantung ( terutama yang berhubungan dengan hiperlipidemia, diabetes, dan hipertensi ) berkaitan erat dengan disfungsi ereksi. Kombinasi kandisi-kondisi ini dan penuaan meningkatkan resiko DE pada usia lanjut. Permasalahan hormonal dan metabolik lainnya, termasuk hipogonadisme primer dan sekunder, hipotiroidisme, gagal ginjal kronis, dan gagal hati juga berdampak buruk pada DE (Vary, 2007).

Penyalahgunaan zat seperti intake alkohol atau penggunaan obat-obatan secara berlebihan merupakan kontributor utama pada DE. Merokok merupakan salah satu penyebab arterio oklusive disease. Psikogenik disorder termasuk depresi, disforia dan kondisi kecemasan juga berhubungan dengan peningkatan kejadian disfungsi seksual multipel termasuk kesulitan ereksi. Cedera tulang belakang, tindakan bedah pelvis dan prostat dan trauma pelvis merupakan penyebab DE yang kurang umum (Wibowo, 2007).

DE iatrogenik dapat disebabkan oleh gangguan saraf pelvis atau pembedahan prostat, kekurangan glisemik, tekanan darah, kontrol lipid dan banyak medikasi yang umum, digunakan dalam pelayanan primer. Obat anti hipertensi khususnya diuretik dan central acting agents dapat menyebabkan DE. Begitu pula digoksin psikofarmakologic agents termasuk beberapa antidepresan dan anti testosteron hormon. Kadar testosteron memang sedikit menurun dengan bertambahnya usia namun yang berkaitan dengan DE adalah minoritas pria yang benar-benar hipogonadisme yang memiliki kadar testosteron yang rendah (Vary,2007).

Komorbiditas Disfungsi Ereksi

Beberapa penyakit/kondisi dengan prevalensi DE yang tinggi, antara lain: gagal ginjal, Liver disease, multiple sclerosis, spinal cord injuries, anomaly atau penyakit penis (seperti: Peyronie’s Disease), pembedahan pelvis, trauma pelvis, pengobatan kanker prostat, dan hypogonadism (The Alberta Medical Association, 2005).

Diagnosis Disfungsi Ereksi

Diagnosis DE dapat ditegakkan melalui pemeriksaan berikut ini:

Anamnesis
Dalam anamnesis perlu ditanyakan tentang penyakit-penyakit seperti diabetes melitus, hiperkolesterlemia, hiperlipidemia, penyakit jantung, merokok, alkohol, obat-obatan, operasi yang pernah dilakukan, penyakit tulang punggung, dan penyakit neurologik dan psikiatrik (Baziad, 2003)

Pada diagnosis pasien disfngsi ereksi harus digali riwayat seksual, penyakit yang pernah diderita dan psikoseksual. Pada pria yang mengalami DE ditanyakan hal – hal di bawah ini :

§ Gangguan ereksi dan gangguan dorongan seksual
§ Ejakulasi, orgasme dan nyeri kelamin
§ Fungsi seksual pasangan
§ Faktor gaya hidup : merokok, alkohol yang berlebihan dan penyalahgunaan narkotika
§ Penyakit kronis
§ Trauma dan operasi daerah pelvis / perineum / penis
§ Radioterapi daerah penis
§ Penggunaan obat – obatan
§ Penyakit saraf dan hormonal
§ Penyakit psikiatrik dan status psikologik

BACA:  Referat Kedokteran: Insidens dan Epidemiologi Penyakit Akalasia

Disfungsi ereksi dapat dibedakan dengan jelas dari masalah seksual lainnya seperti ejakulasi, libido dan orgasme. Pada penelusuran riwayat penyakit harus ditanya tentang hipertensi, hiperlipidemia, depresi, penyakit neurologis, diabetes melitus, gagal ginjal, penyakit adrenal dan tiroid. Riwayat trauma panggul pembedahan pemmbuluh darah tepi juga harus ditanyakan karena hal tersebut merupakan faktor resiko impotensi.

Pencatatan daftar obat yang dikonsumsi juga harus diperhatikan , karena sekitar 25% dari semua kasus disfungsi seksual terkait dengan obat – obatan. Pengguanaan alkohol yang berlebihan dan pemakaian narkotik juga ditanyakan karena terkait dengan peningkatan resiko disfungsi seksual . Pasien juga ditanya adakah riwayat depresi karena merupakan faktor resiko disfungsi ereksi.

Untuk mengetahui apakah seseorang telah mengalami disfungsi ereksi diperlukan suatu evaluasi fungsi seksual pria. Evaluasi tersebut disusun dalam bentuk beberapa pernyataan yang dikenal sebagai IIEF-5 (Internatonal Index of Erectile Function).

Pada setiap pertanyaan telah disediakan pilihan jawaban. Orang yang sedang dievaluasi diminta memilih yang paling sesuai dengan kondisi orang tersebut 6 bulan terakhir. Pilihan hanya satu jawaban untuk setiap pertanyaan.

1) Bagaimanakah tingkat keyakinan anda bahwa anda dapat ereksi dan bertahan terus selama hubungan intim ?

1 = Sangat rendah
2 = Rendah
3 = Cukup
4 = Tinggi
5 = Sangat tinggi

2) Pada saat anda ereksi setelah mengalami perangsangan seksual, seberapa sering penis anda cukup keras untuk dapat mamsuk ke vagina pasangan anda?

1= Tidak pernah / hampir tidak pernah
2= Sesekali (<59%) 3= Kadang – kadang (±50%) 4= Seringkali >50%
5= Selalu / hampir selalu

3) Setelah penis masuk ke vagina pasangan anda, seberapa sering anda mampu mempertahankan penis tetap keras?

1= Tidak pernah / hampir tidak pernah
2= Sesekali (<50%) 3= Kadang – kadang (±50%) 4= Seringkali >50%
5= Selalu / hampir selalu

4) Ketika melakukan hubungan intim,seberapa sulitkah mempertahankan ereksi sampai selesai melakukan hubungan intim?

1= Teramat sangat sulit
2= Sangat sulit
3= Sulit
4= Sulit sekali
5= Tidak sulit

5) Ketika anda melakukan hubungan intim, seberapa sering anda merasa puas?

1= Tidak pernah / hampir tidak pernah
2= Sesekali (<50%) 3= Kadang – kadang (±50%) 4= Seringkali >50%
5= Selalu / hampir selalu

Skor : ________

Kemudian lima pertanyaan tersebut dijumlah skornya.
Jika skor tersebut kurang atau sama dengan 21, maka orang tersebut menunjukkan adanya gejala – gejala disfungsi ereksi.(Vary, 2007).

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, tanda-tanda hipogonadisme (termasuk testis kecil, ginekomasti dan berkurangnya pertumbuhan rambut tubuh dan janggut) memerlukan perhatian khusus (Bhasin, 2006). Pemeriksaan penis dan testis dikerjakan untuk mengetahui ada tidaknya kelainan bawaaan atau induratio penis. Bila perlu dilakukan palpasi transrektal dan USG transrektal. Tidak jarang DE disebabkan oleh penyakit prostat jinak ataupun prostat ganas atau prostatitis (Baziad, 2003).

Pemeriksaan rektum dengan jari (digital rectal examination), penilaian tonus sfingter ani, dan bulbo cavernosus reflek (kontraksi muskulus bulbokavernous pada perineum setelah penekanan glands penis) untuk menlai keutuhan dari sacral neural outflow. Nadi perifer dipalpasi untuk melihat adanya tanda-tanda penyakit vaskuler (Montague, 2005). Dan untuk melihat komplikasi penyakit diabetes ( termasuk tekanan darah, ankle bracial index, dan nadi perifer ) ( Feldman, 1994 ).

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang dapat menunjang diagnosis DE antara lain: kadar serum testosterone pagi hari (perlu diketahui, kadar ini sangat dipengaruhi oleh kadar luteinizing hormone). Pengukuran kadar glukosa dan lipid, hitung darah lengkap (complete blood count), dan tes fungsi ginjal.

Sedangkan pengukuran vaskuler berdasarkan injeksi prostaglandin E1 pada corpora penis, duplex ultrasonography, biothesiometry, atau nocturnal penile tumescence tidak direkomendasikan pada praktek rutin/sehari-hari namun dapat sangat bermanfaat bila informasi tentang vascular supply diperlukan, misalnya, untuk menentukan tindakan bedah yang tepat (implantation of a prosthesis vs. penile reconstruction) (Guay, 2003).

BACA:  Mengenal Sistem Pembuluh Balik (Vena)

Penatalaksanaan Disfungsi Ereksi

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam manajemen disfungsi ereksi menyangkut terapi psikologi, terapi medis dan terapi hormonal yaitu (Feldman, 1994) :

• Terapi psikologi yaitu terapi seks atau konsultasi psikiatrik, percobaan terapi ( edukasi, medikamentosa oral / intrauretral, vacum contricsi device).
• Terapi medis yaitu terapi yang disesuaikan dengan indikasi medisnya
• Terapi hormonal yaitu jika tes laboratoriumnya abnormal seperti kadar testoteron rendah , kadar LH dan FSH tinggi maka diterapi dengan pengganti testoteron. Jika Prolaktin tinggi, maka perlu dipertimbangkan pemeriksaan pituitary imaging dan dikonsulkan.

Manajemen disfungsi ereksi ada 2 macam, yaitu manajemen umum dam manajemen khusus (Wibowo, 2007).

A. Manajemen Umum

Pengendalian kadar gula ketat merupakan usaha paling baik. Subyek dengan neuropati diabetik, setelah pemberian tolrestat atau aldose reductase inhibitor (ARI) jangka panjang, hanya didapatkan kerusakan saraf ringan serta didapatkan regenerasi serabut saraf, normalisasi hubungan akson – glial dan demielinasi segmental (Ward, 1997).

Usaha lain yang dapat dilakukan ialah upaya meningkatkan proses regenerasi dengan pemberian nerve growth factor (NGF), brain derived neurotrophic factor (BDNF).

NGF merupakan faktor neurotropik penting yang mendorong kehidupan neuron sensoris erabut kecil dan neuron simpatis sistem saraf perifer. BDNF mendorong hidupnya serabut saraf sensoris ukuran sedang yang menjadi perantara sensasi tekanan dan saraf motoris (Apfel, 1999).

Terapi nutrisi akhir – akhir ini banyak dikembangkan meskipun belum ada uji klinis memadai. Oleh Bersvendsen (1999) diajukan beberapa alternatif pengobatan neuropati diabetik secara umum yakni :

1) gamma linoleic acid
2) anti oksidan (termasuk alpha linoleic acid 600 – 800 mg, thiocthic acid 600 mg, vitamin E 1200 iu atau selenium 100 mcg)
3) vitamin E
4) acetyl L carnitine (ALC)
5) kromium
6) biotin ( 9 mg per hari )
7) niacin
8) Inositol dan taurin
9) magnesium

B. Manajemen Khusus

Pada manajemen khusus meliputi terapi nonbedah dan terapi bedah / operatif yaitu :
Terapi non bedah / medis :
• Farmakoterapi oral, misalnya yohimbin, sildenafil citrate, vardenafil, alprostadil, papaverin HCL, phenoxybenzamine HCL, Aqueous testosterone injection, transdermal testosteron, bromocriptiine mesylate, apomorfin, fentolamin, ganglioid, linoleat – gamma, aminoguanidine, methylcobalamine.
• Injeksi intrakavernosa
• Pengobatan kerusakan vena
• Pengobatan hormonal
• Terapi intraurethral pellet (MUSE)
• Terapi external vacuum

Terapi Bedah

1. Prostesis penis
Termasuk terapi yang sangat sukses walaupun pasien dapat memilih atau
mempertimbangkan terapi yang lain. Pembedahan penis kemudian dilanjutkan dengan pemasangan implant / protesa ini sangat rendah tingkat morbiditas dan mortalitasnya.

1.1. Semirigid or malleable implant rod implants

Kelebihannya:
1. Teknik bedah sederhana
2. Komplikasi relatif sedikit
3. Tidak ada bagian yang dipindah
4. Implant yang sedikit atau tidak mahal
5. Tingkat keberhasilannya 70-80%
6. Efektivitasnya tinggi

Kekurangannya:
1. Ereksi terus sepanjang waktu
2. Tidak meningkatkan lebar (ukuran) penis
3. Risiko infeksi
4. Dapat melukai atau merubah erection bodies
5. Dapat menyebabkan nyeri/meng-erosi kulit
6. Jika tidak sukses, dapat memengaruhi terapi lainnya.

1.2. Fully inflatable implants

Kelebihannya:
1. Rigiditas-flaksiditasnya menyerupai proses alamiah
2. Pasien dapat mengontrol keadaan ereksi
3. Tampak alamiah
4. Dapat meningkatkan lebar (ukuran) penis saat digunakan
5. Tingkat keberhasilannya 70-80%
6. Efektivitasnya tinggi

Kekurangannya:
1. Risiko infeksi
2. Implant yang paling mahal
3. Jika tidak sukses, dapat memengaruhi terapi lainnya.

1.3. Self-contained inflatable unitary implants

Kelebihannya:
1. Rigiditas-flaksiditasnya menyerupai proses alamiah
2. Pasien dapat mengontrol keadaan ereksi
3. Tampak alamiah
4. Teknik bedahnya lebih mudah daripada prostesis “inflatable”

Kekurangannya:
1. Terkadang sulit mengaktifkan peralatan “inflatable”
2. Risiko infeksi
3. Dapat melukai atau merubah erection bodies
4. Relatif mahal

2. Vascular reconstructive surgery

Kelebihannya:
1. Tampak alamiah
2. Rata-rata tingkat kesuksesannya 40-50%
3. Jika tidak berhasil tidak memengaruhi terapi lainnya
4. Tidak perlu implant
5. Efektivitasnya sedang

BACA:  Komplikasi dan Prognosis Sindroma Nefrotik

Kekurangannya:
1. Teknik pembedahannya paling sulit secara teknis
2. Perlu tes yang extensive
3. Dapat menyebabkan pemendekan penis
4. Hasil jangka panjang tidak tersedia
5. Sangat mahal
6. Risiko infeksi, pembentukan jaringan parut (scar), dengan distortion penis dan nyeri saat ereksi.

Prognosa Disfungsi Ereksi

Studi elektrofisiologi dan patologi menunjukkan bahwa degenerasi dan regenerasi saraf terjadi bersama–sama pada penderita neuropati diabetika. Dengan perkembangan penyakit, keseimbangan bergeser ke arah dominasi degenerasi sementara proses regenerasi berkurang. Perbaikan dalam pengendalian kadar gula dapat menyebabkan pergeseran ke arah dominasi regenerasi dan akibatnya terjadi perbaikan dalam gejala neuropati (Apfel, 1999).

Romeo et al (2000) mengevaluasi kaitan antara pengendalian kadar gula dengan disfungsi ereksi pada pria penderita DM tipe 2 dan disimpulkan bahwa disfungsi ereksi berhubungan dengan kadar gula darah. Neuropati perifer dan HBA1c merupakan prediktor bebas disfungsi ereksi.

Fedele et al ( 1998 ) dapat menunjukkan kaitan antara merokok dengan disfungsi ereksi yakni sebagai berikut :

1. Kemungkinan menderita disfungsi ereksi perokok ialah sebesar 1,5 kali lipat dibandingkan dengan orang yang tidak pernah merokok

2. Dibandingkan orang yang merokok < 12 batang sehari, orang yang merokok >30 batang sehari mempunyai kemungkinan menderita disfungsi ereksi 1,5 kali.

Jeremy dan Mikhailidis ( 1998 ) juga mengemukakan kaitan antara merokok dengan disfungsi ereksi. Dengan demikian, berhenti merokok dapat meningkatkan fungsi ereksi.

REFERENSI:
1. Anderson K e et al. Physiology of penil erection. Physiologcal Review vol 75. no 1, January 1995.

2. Apfel, S.1999. nerve regeneration in diabetic neuropathy. J. Diabetes obesity and metabolism. (1): 3-11.

3. Barton, D. & Joubert, 2000. Psychosocial aspecs of sexual disorders. J Aust.Fam.Phsysician. 29(6): 577-31.

4. Baziad A. Menopause dan Andropause. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2003. Jakata. Hlm. 217-221.

5. Bersvendsen, Y. 1999. A multidiciplinary approach diabetic neuropathy treatment.

6. Bhasin S, Cunningham GR, Hayes FJ, et al. Testosterone therapy in adult men with androgen deficiency syndromes: An Endocrine Society clinical practice guideline. J Clin Endocrinol Metab 2006;91: 1995-2010. [Erratum, J Clin Endocrinol Metab 2006;91:2688.].

7. Brosman, SA. Erectile Dysfunction. Emedicine, Last Updated: Jan 15, 2008. Cited from: http://www.emedicine.com/med/topic3023.htm.

8. Fedele, D., Coscelli, C. 1998. erectile Dysfunction in diabetic subjucts in italy. J.Diabetic.Care.21(11):1973-7.

9. Feldman HA, Goldstein I, Hatzichristou DG, Krane RJ, McKinlay JB. Impotence and its medical and psychosocial correlates: results of the Massachusetts Male Aging Study. J Urol 1994;151:54-61.

10. Guay AT, Spark RF, Bansal S, et al. American Association of Clinical Endocrinologists medical guidelines for clinical practice for the evaluation and treatment of male sexual dysfunction: a couple’s problem — 2003 update. Endocr Pract 2003;9:77-95.

11. Guyton, A.C & Hall J.E 2006 text Book of Medical Physiology Eleventh Editionel. Elsevier Saunder Phyladelphya Pensylvania.

12. Jeremy, JY & Mikhailidis, DP. 1998. Cigarette smoking and erectile dysfunction. J>R> Soc.Health. 118(3): 151-5.

13. McVary KT. Erectile dysfunction and lower urinary tract symptoms secondary to BPH. Eur Urol 2005;47:838-45.

14. McVary KT. Erectile Dysfunction. N Engl J Med 2007;357:2472-81.

15. Montague DK, Jarow JP, Broderick GA, et al. Chapter 1: the management of erectile dysfunction: an AUA update. J Urol 2005;174:230-9.

16. NIH Consensus Development Panel on Impotence. NIH Consensus Conference:impotence. JAMA 1993; 270:83-90.

17. Romeo, JH., Seftel, AD. 2000. Sexualfunction in men with diabetes type-2: association with glicemic control. J.Urol. 163(3): 788-91.

18. The Alberta Medical Association. Guideline for The Investigation and Management of Erectile Dysfunction. 2005.

19. Ward, JD. 1997. Diabetic Pheripheral Neuropathy. In KGMM.Elberti. International Textboox of Diabetes Mellitus. Vol 2 pp 1478-96 John Wiley &Sons, New York.

20. Wibowo S, Gofir A. Disfungsi Ereksi. Pustaka Cendekia Press. 2007. Yogyakarta. Hlm. 35-39, 51-53, 57-59, 83-87.