Rhinolith adalah massa kalsifikasi yang ditemukan pada cavum nasi. Rhinolith disebut juga dengan nasal calculi atau concretion pada hidung. Rhinolith merupakan massa pada hidung yang tidak umum ditemukan. Pertama kali ditemukan oleh Bartholin pada tahun 1654. Terdiri dari dua tipe yaitu rhinolith eksogen dan rhinolith endogen.
Rhinolith telah ditemukan pada pasien mulai umur tiga sampai 76 tahun. Insidens tertinggi yaitu antara decade keempat dan kelima. Daniela C. Capra M. Oliveira, dalam penelitiannya menggambarkan adanya 8 kasus rhinolitiasis pada University Hospital Antônio Pedro, UFF, and at the Pires de Mello Clinic, Niterói, RJ, antara Januari 1982 dan juli 2002.
Hasilnya, diantara 8 kaus tersebut terdiri dari empat orang laki – laki dan empat orang perempuan yang berumur 7-76 tahun. Rhinolith tersebut umumnya ditemukan pada cavitas nasal. Juga mungkin terjadi pada nasofaring, walaupun jarang. Biasanya bersifat tunggal dan unilateral.
Massa tersebut kurang lebih berbentuk sferis irregular, dan mungkin dapat mengalami perpanjangan sesuai dengan tempat bertumbuhnya. Permukaannya menyerupai mulberry, dengan warna abu-abu sampai warna coklat. Rhinolith terdiri atas garam – garam kalsium dan magnesium dalam bentuk fosfat, oksalat, dan karbonat.
Garam – garam tersebut menjadi kristal yang membungkus sebagaian kecil bahan organik dan inorganik dan setelah beberapa tahun dapat mencapai ukuran yang cukup besar.
Gejala yang paling sering adalah obstruksi nasal, rinore mukopurulen, nyeri kepala kronis. Setengah dari kasus tidak ditemukan melalui rinoskopi anterior, dan metode diagnose lain dibutuhkan untuk menemukan massa tersebut.
Pemeriksaan tambahan seperti CT-scan dan foto polos sinus paranasalis yang digunakan untuk menentukan lokasi dan mengukur dimensi dari massa tersebut dan untuk melihat adanya kemungkinan invasi ke struktur sekitarnya. Pengeluaran rhinolith membutuhkan anastesi umum dan sebelumnya rhinolith dipotong – potong terlebih dahulu.
Etiologi Rhinolith
Etiologinya tidak selalu dapat dideteksi dan mungkin berasal dari eksogen (seperti biji – bijian, potongan batu – batu kecil, benda – benda plastic, serangga, kaca, kayu dan lain-lain), atau endogen sebagai hasil dari pengeringan secret, bekuan, produk – produk sel yang lisis, mukosa nekrosis dan fragmen – fragmen gigi yang berlaku sebagai benda asing.
Patogenesis Rhinolith
Pathogenesis rhinolith tidak jelas, tetapi beberapa faktor telah diperkirakan terlibat dalam pembentukan rhinolith yaitu masuknya dan impaksi dari benda asing dalam cavum nasi, inflamasi akut dan kronik, obstruksi dan stagnasi sekret hidung, dan presipitasi garam – garam mineral. Perkembangannya dapat terjadi bertahun – tahun.
Gejala Klinis
Gejala yang khas pada rhinolith adalah sekret hidung yang unilateral, yang mungkin berupa serosagenous. Peningkatan ukuran rhinolith, akan membuat gejala obstruksi nasal semakin tampak dan pasian mungkin akan menunjukkan manifestasi adanya sekret nasal purulen yang unilateral. Gejala yang lain yaitu pembengkakan pada hidung atau wajah, anosmia, epifora, dan sakit kepala.
Pemeriksaan Fisis Rhinolith
Pada rhinoskopi anterior, dapat ditemukan adanya massa berwarna abu – abu dan gelap, dengan konsistensi seperti batu dan permukaan yang tidak rata. Struktur tersebut biasanya berlokasi pada setengah anterior cavum nasi terutama pada dasarnya. Lokasi yang lain dilaporkan terdapat pada sinus maksilaris dan sinus frontalis.
Diagnosis
Diagnosis normalnya berdasarkan gejala, ada riwayat masuknya benda asing ke dalam hidung, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan tambahan yaitu radiologi dan endoskopi.
Gambaran radiologi yang khas pada foto polos kepala posisi Water’s adalah radio-opak dengan translusensi di bagian tengah. Pada CT scan, terdapat gambaran homogen, lesi dengan densitas yang tinggi dengan smooth mineralization.
Bagian tengah lesi, yang mungkin mengandung materi organik, mungkin tampak sebagai densitas yang rendah atau mungkin tampak seperti benda asing. CT tidak dapat membedakan rhinolith dengan massa kalsifikasi yang lain, tetapi dapat mendeteksi komplikasi yang berhubungan dengan rhinolith.
Rigid endoscopy memiliki peranan yang paling penting dalam diagnosis, dan dalam mengevaluasi perluasan kea rah posterior. Pemeriksaan ini sangat efektif dalam diagnosis untuk menentukan terapi.
Operasi dengan endoskop memudahkan pengangkatan seluruh massa di bawah control visual langsung. Pada saat yang bersamaan, dapat menolong mencegah komplikasi rhinolith. Diagnosis mungkin ditemukan selama pemeriksaan rutin atau pemeriksaan radiologi untuk alasan lain, seperti pada pemeriksaan gigi.
Diagnosis Banding
Yang paling penting yaitu hemangioma, osteoma, polip kalsifikasi, enchondroma, dermoid, chondrosarcoma, osteosarcoma, sifilis, dan tuberculosis.
Komplikasi
Komplikasi yang pernah dilaporkan yaitu sinusitis kronik, deviasi atau perforasi septum, perforasi palatum, otitis media rekuren, destruksi dinding lateral hidung dan dakriosistitis rekuren.
Terapi
Penanganannya terdiri atas pengeluaran rhinolith dan pendekatan pembedahan dipilih berdasarkan lokasi dan ukuran rhinolith dan ada tidaknya komplikasi, tapi pada umumnya dapat dikeluarkan secara endonasal, pertama dengan memobilisasi dan kemudian memecahkan rhinolith dalam fossa nasalis, mengaspirasi dan mengeluarkannya.
Pendekatan eksterna mungkin dibutuhkan pada kasus dengan rhinolith yang sangat besar, dan endoskop sangat membantu. Penanganan komplikasi dapat dilakukan pada operasi yang sama atau operasi yang lain.
Kharoubi pada tahun 1998 menyatakan bahwa tindakan ekstraksi tersebut dikerjakan dengan local anastesi, tetapi pada anak – anak dan pada kasus dengan komplikasi (perforasi palate dan sinusitis) atau terdapat lesi lain yang berhubungan (poliposis), ekstraksinya memerlukan anastesi umum.
Daftar Pustaka
- Cumming CW, Frederickson JM, Harker LA, Krause CJ, Schuller DE. Epistaxis and Nasal Trauma. In : Otolaryngology – Head and Neck Surgery. Second Edition. Elsevier : United States. 1994. 723-5.
- Singh R Kumar,Varshney S, Bist SS, Gupta, Bhatia R. A Case of Rhinolithiasis. In : Online Journal of Health and Allied Science. [online] 22nd January 2009 [cited April – June 2008];[4 screens]; Available from URL:http://ojhs.org
- Balasubramanian T. Rhinolithiasis. [online] 22nd January 2009 [cited 2008];[2 screens]; Available from URL:http://www.drtbalu.com
- Cesar GD, Tangerina RP, Abreu CEC, Paula Santos, Gregorio LC. Rhinolithiasis as Cause of Oronasal Fistula. [online] 22nd January 2009 [cited Feb 2005];[7 screns]; Available from URL:http://www.scielo.br
- Dhillon RS, East CA. Ear, Nose and Throa and Head and Neck Surgery. Second Edition. Churchill Livingstone:UK. 2000. 30-7.
- Soepardi EA, Iskandar N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok Kepala Leher. Fifth Edition. Gaya baru : Jakarta. 2002. 88-95.
- Adams GL, Boeis LR, Higler PA. Buku Ajar Penyakit THT. Sixth Edition. EGC : Jakarta. 1997. 174-239.
- Ballenger JJ, Snow JB. Otorhinolaryngology : Head and Neck Surgery. 15th Edition. Williams And Wilkins : United States of America. 1996. 3-18.
- Ghorayeb BY. Pictures of Rhinolith (Nasal Calculus). [online] 22nd January 2009 [cited 26th August 2007];[3 screens]; Available from URL:http://www.ghorayeb.com
- Pasha R. Otolaryngology Head and Neck Surgery. Singular : UK. 2000. 16-7.
- Thiagarajan B. Rhinolith. [online] 30th January 2009 [cited 3rd Sept 2000];[2 screens];Available from URL:http://rad.usuhs.mil.htm
- Olivera DC, Cantini R, Mello, Tonon S, Antonio. Rhinolithiasis. [online] 30th January 2009 [cited 2003];[8 screens]; Available from URL:http://www.rborl.org.br.htm