Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang kronik. Pada orang yang mengalaminya tidak dapat menilai realita denga baik dan pemahaman diri yang buruk.
Skizofrenia terbagi atas beberapa jenis yaitu paranoid, hibefrenik, katatonik, tak terinci, residual, simpleks, lainnya dan yang tak tergolongkan (YTT).
Diagnosis skizofrenia ditegakkan apabila ditemukan salah satu gejala yang menganggu seperti adanya gangguan isi pikiran berupa waham (delusion of control, delusion of influence, delusion of passivity, delusion of perception), halusinasi auditorik, waham-waham menetap jenis lain yang dianggap tidak wajar atau sesuatu yang mustahil.
Atau dua dari tiga gejala berikut yaitu halusinasi dari panca indera apa saja, arus pikiran yang terputus, prilaku katatonik/gaduh/gelisah/posturing/hegativisme/mutisme/stupor dan gejala-gejala negatif. Gejala tersebut berlangsung lebih dari 1 bulan dan harus ada perubahan pada hidup pasien baik dari segi prilaku maupun pekerjaan.
Sedangkan untuk diagnosa skizofrenia paranoid, maka waham dan atau halusinasi harus menonjol serta beberapa gejala tambahan berupa halusiansi yang mengancam dan memberi perintah maupun tanpa bentuk verbal, halusinasi, pembauan, dan pengecapan serta waham dapat berupa hampir setiap jenis.
Untuk farmakoterapi, pasien diberikan obat antipsikosis atipikal. Pada pasien psikosis terjadi peningkatan aktivitas neurotransmitter dopamine, makanya diberi obat untuk memblokade reseptor dopamine DA2D2 di stratum sebanyak 44% dari total reseptor, dan memblokade reseptor Serotonin 5HT2 di kortex frontal sebanyak 72% dari total reseptor.
Penyakit skizofrenia merupakan gangguan mental yang kompleks dan banyak aspek tentang skizofrenia yang belum dipahami sepenuhnya, makanya pendekatan skizofrenia harus dilakukan secara holistik dengan melibatkan aspek psikososial, psikodinamik, genetic, farmakologi, dan lain-lain untuk penyembuhan pasien.