Referat Kedokteran: Konsep Terbaru Dalam Manajemen Cairan Perioperatif


Meskipun sebagian besar aspek dalam manajemen cairan perioperatif relatif konstan selama lebih dari 2 dekade, konsep-konsep dan praktek-praktek baru kini berkembang. Dari pertengahan hingga akhir tahun 1960-an, strategi yang secara luas digunakan dalam manajemen cairan periopertif masih merupakan peraturan yang kaku.

Setelah Shires dkk, secara meyakinkan menunjukkan bahwa operasi besar dan trauma berhubungan dengan defisit cairan intravaskuler yang bermakna, penggantian volume perioperatif menjadi lebih tidak dibatasi peraturan. Pada tahun 1970-an, perhatian dipusatkan pada kontroversi antara kristaloid-koloid yang masih belum terpecahkan. Belakangan ini, peneliti menggunakan analisis kinetik, dengan menggunakan prinsip-prinsip yang sama dengan farmakokinetik, untuk mendapatkan respons yang lebih baik dalam pemberian cairan perioperatif.

 

Perkembangan larutan koloid baru, dalam istilah koloid dan campurannya, menjanjikan pengurangan masalah yang sehubungan dengan formulasi yang terjadi. Penelitian terhadap komponen larutan kristaloid konvensional malahan mendorong perbaikan komposisi bahan-bahan anestetik pada umumnya.

Jurnal ini akan membahas tentang beberapa wilayah penelitian yang mengubah praktek klinik, termasuk yang berikut ini:
1. kinetik ekspansi volume plasma yang diproduksi oleh cairan intravena
2. perkembangan terbaru larutan koloid
3. komponen spesifik cairan yang tersedia.

 

Prinsip-Prinsip Ekspansi Volume Plasma

Perkiraan ekspansi volume plasma (plasma volume expansion=PVE) yang konvensional setelah suatu infus cairan mengatakan bahwa cairan yang tertahan (cairan masuk dikurangi dengan cairan keluar) didistribusikan ke ruang-ruang cairan tubuh berdasarkan pada volume ruang cairan fisiologis (Ttabel 1) dan Persamaan Starling, yang mengatur distribusi cairan isonatremik nonkoloid antara volume plasma (plasma volume=PV) dan cairan interstisial (2 komponen dari volume ekstraseluler [ECV]).

Persamaan Starling didefinisikan sebagai berikut:

Q = kA [(Pc-Pi) + o (Fi-Fc)]

Di mana:
Q = filtrasi cairan, k = koefisien filtrasi kapiler (konduktivitas air), A = luas membran kapiler, Pc = tekanan hidrostatik kapiler, Pi = tekanan hidrostatik interstitial, o = koefisien refleksi albumin, Fi = tekanan onkotik koloid intersititial, Fc = tekanan onkotik koloid kapiler. Sejumlah kecil (<0,5%) aktivitas osmotik protein plasma ternyata esensial dalam menentukan persamaan antara volume cairan interstitial dan volume plasma. Apabila osmolaritas serum adalah normal, tekanan osmotik total melebihi 5400 mmHg, hanya 24 mmHg di antaranya adalah berasal dari tekanan osmotik koloid (onkotik).

BACA:  Referat Kedokteran: Patofisiologi dan Gejala Klinis Epilepsi
Persamaan berikut ini meramalkan efek statik cairan yang diinfus terhadap PVE:
PVE = volume yang diinfus x (PV/Vd)

Di mana Vd = volume distribusi. Sebagai contoh, berapa banyak peningkatan PVE sebagai akibat dari infus 500 cc Dextrose 5% dalam air? Oleh karena volume yang diinfus bebas natrium, maka Vd adalah TBW (sama dengan 60% dari total body weight). Oleh karena itu, PVE = 500 x (3/42) atau 36 ml. Infus 500 cc larutan Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, di mana Vd = ECV (20% dari TBW), akan menghasilkan PVE = 500 cc x (3/14) = 107 ml.

Apabila permeabilitas membran adalah normal, cairan yang mengandung koloid seperti albumin, dextran, atau bubuk hidroksietil (hydroxyethyl starch = HES) lebih meningkatkan volume plasma dibandingkan volume cairan interstitial atau volume cairan intraseluler.

Setiap gram albumin intravaskuler menampung 14-15cc air dalam volume plasma. Oleh karena itu, 500cc albumin 5%, yang mengandung albumin 25 gram, akan meningkatkan volume plasma kira-kira 375cc. Cairan hiperosmotik, contohnya NaCl 7,5%, meningkatkan aliran balik vena terutama oleh perpindahan cairan intraseluler ke dalam volume plasma.

Meskipun demikian, infus NaCl hipertonik juga secara sementara meningkatkan ECV melalui penarikan osmotik cairan dari volume cairan interstitial ke dalam volume plasma. Penambahan koloid hiperonkotik ke dalam cairan hipernatremi akan meningkatkan jumlah volume plasma.

Analisis kinetik PVE menggantikan asumsi statis dengan data dinamik dan menghasilkan tujuan yang sama dengan analisis farmakokinetik konsentrasi obat, contoh: dalam memperkirakan efek puncak dan tingkat klirens. Efek bolus cairan pada PVE dan kecepatan infus yang penting untuk mempertahankan setiap tingkat pemberian campuran plasma dapat diprediksi oleh modeling kinetik.

BACA:  Referat Kedokteran: Gagal Ginjal Akut (GGA) Post-Renal

Meskpun demikian, oleh karena infus cairan tidak menghasilkan bahan-bahan baru dalam konsentrasi yang dapat diukur, efek infus cairan pada PVE harus diperoleh dari perubahan-perubahan pada konsentrasi variabel lainnya. Svensen dan Hahn mengevaluasi 3 zat endogen – konsentrasi air darah, konsentrasi albumin serum, dan total hemoglobin – pada 8 sukarelawan yang mendapatkan infus bolus larutan Ringer Asetat, Dextrose 70 6%, atau NaCl 7,5%.

Setelah memasukkan cairan yang akan diuji, Svensen dan Hahn menggunakan regresi nonlinier dari perubahan fluid-induced pada konsentrasi Hb untuk memisahkan secara matematik kurva klirens menjadi model ruang cairan volume-1 dan volume-2.

Meskipun kompartemen-komparteman ini tidak sesuai dengan ruang anatomik atau fisiologik (sebagian besar volume distribusi farmakologik tidak sesuai dengan ruang fisiologik), analisis kinetik larutan kristaloid adalah tetap dengan distribusi ke dalam volume plasma dan volume interstitial. Tentu saja aspek paling penting dalam data ini adalah sejumlah kecil kristaloid yang tetap tinggal dalam pembuluh darah setelah ekuilibrasi.

Pada akhirnya, analisis kinetik harus bermanfaat dalam menjelaskan hal-hal sehubungan dengan manajemen cairan perioperatif saat ini sebagaimana analisis kinetik lebih jauh menjelaskan interaksi antara kinetik pemberian cairan dan efek bedah dan trauma terhadap kebutuhan cairan saat pembedahan.

Sebagai contoh, setelah suatu perdarahan ringan pada sukarelawan yang masih sadar, sejumlah besar kristaloid isotonik yang diinfus tertinggal dalam pembuluh darah dibandingkan sesudah infus cairan pada sukarelawan yang normovolemik, mungkin disebabkan oleh karena aliran transkapiler dari retensi cairan IF dalam jumlah besar.

Trauma bedah dapat menyebabkan sekuestrasi akut pada IF. Pada penderita sehat yang mendapat cairan bebas natrium saat operasi terbuka abdomen bagian atas, ECV menurun hampir 2 L dan tingkat filtrasi glomerulus menurun sampai 13%; sebaliknya pada penderita yang mendapat larutan RL, ECV terpelihara dan tingkat filtrasi glomerulus meningkat sampai 10%.

BACA:  Referat Kedokteran: Atresia Esophagus

Selama 10 hari pertama setelah resusitasi dari trauma multisistem, penderita memperlihatkan peningkatan berat badan total (TBW) dan peningkatan IFV sebesar 55% (>5,0L pada penderita dengan BB=70kg). Cairan yang terakumulasi berpindah kembali ke dalam volume plasma, paling sering terjadi pada post operasi hari ketiga. Apabila sistem kardiovaskuler dan renal tidak dapat berkompensasi, dapat terjadi hipervolemia dan edem pulmonum.

Meskipun manajemen cairan perioperatif saat ini biasanya menghindari terjadinya hipovolemia, tidak ada peralatan saat ini yang tersedia untuk menyesuaikan secara tepat pemberian cairan dengan kebutuhan cairan. Meskipun hal ini dapat menyebabkan pemberian cairan yang tidak adekuat, hal yang sama pentingnya adalah infus cairan perioperatif yang berlebihan. Arieff melaporkan 13 episode edem pulmonum postoperatif yang fatal, yang tampaknya berhubungan dengan pemberian cairan perioperatif dalam volume yang besar.

Arieff juga memperkirakan, berdasarkan pada penelitian ulang retrospektif selama 1 tahun pada penderita yang menjalani operasi mayor pada 2 pusat medis universitas, bahwa insidens per tahun untuk kasus edem pulmonum postoperasi di Amerika Serikat adalah 8000-74.000 kasus. Kesulitan yang paling sering timbul adalah observasi bahwa 2,6 % penderita tanpa komorbiditas yang berarti berkembang menjadi edem pulmonum, di mana 3,9% di antaranya meninggal.

Masalah lain dalam manajemen cairan adalah bahwa kecepatan pemberian cairan dapat mempengaruhi fungsi imun. Pada tikus yang diberikan trauma dan syok bedah, pemberian cairan secara lambat (lebih dari 120 menit) berhubungan dengan perbaikan fungsi imun normal yang lebih cepat dibandingkan resusitasi yang lebih dari 30 atau 60 menit.

Penelitian ini, yang dikombinasi dengan pengalaman klinik, menyarankan kesimpulan-kesimpulan berikut ini:
1. volume darah tidak dapat dievaluasi secara akurat
2. perfusi jaringan tidak dapat dievaluasi secara akurat
3. kelebihan cairan tidak dapat diketahui secara akurat
4. hipovolemi tidak dapat diketahui secara akurat
5. kecepatan resusitasi cairan yang benar tidak dapat ditentukan secara akurat.