Gangguan seksual tidak hanya berdampak pada laki-laki, tetapi juga berdampak terhadap pasangannya sehingga dapat menyebabkan gangguan psikis yang berat. Pada tahun 2025, jumlah laki-laki yang mengalami disfungsi ereksi di Eropa diperkirakan mencapai 43 juta orang (Baziad,2003 ).
Sebagaimana jumlah populasi usia lanjut yang meningkat tajam, insidensi disfungsi ereksi (DE) juga meningkat dan kebutuhan mendapatkan pengobatan juga meningkat. Pada tahun 2005, diduga terdapat 322 juta pria mengalami disfungsi ereksi di seluruh dunia (Wibowo, 2007 ).
Di Indonesia belum ada data pasti tentang jumlah pria yang mengalami disfungsi ereksi dan disfungsi seksual lainnya. Diduga kurang dari 10% pria yang menikah di Indonesia mengalami disfungsi ereksi.
Disfungsi ereksi adalah ketidakmampuan yang menetap atau terus-menerus untuk mencapai atau mempertahankan ereksi penis yang berkualitas sehingga dapat mencapai hubungan seksual yang memuaskan (Wibowo, 2007, Feldman, 1994 ).
Kondisi DE meningkat sesuai umur, pada studi cross-sectional yang berbasis komunitas, di antara pria berusia 40-49 tahun, prevalensi DE berat (complete/severe) sebesar 5%, sedangkan DE sedang (moderate) sebesar 17%. Pada pria berusia 70-79 tahun, prevalensi DE berat (complete/severe) sebesar 15%, sedangkan DE sedang (moderate) sebesar 34% ( Baziad,2003, Feldman, 1994 ).
Tujuan dan Manfaat
1. Tujuan dan manfaat penulisan ini adalah agar mahasiswa kedokteran mengetahui cara menegakkan diagnosis, melakukan pengelolaan, tindakan dan penatalaksanaan disfungsi ereksi sesuai dengan penulisan ilmiah berdasarkan kepustakaan dan prosedur yang ada, juga berdasarkan evidence based medicine.
2. Agar masyarakat umum dan awam mengerti dan memahami tentang disfungsi ereksi.
Anatomi dan Fisiologi
Anatomi
Susunan anatomi penis terdiri atas :
1. corpora cavernosa, tersusun dari dua silinder paralel jaringan erektil (mudah bangun menjadi tegak)
2. corpus spongiosum, lebih kecil bangunan silinder tunggal terletak dibagian ventral, bagian bawah bangunan corpus cavernosum. Ia mengelilingi uretra, sedangkan bagian ujungnya membentuk glans penis. (Wibowo, 2007).
Sistem perdarahan:
Aorta abdominalis setinggi vertebra lumbal 4 akan mempercabangkan arteri iliaka komunis. Di artikulasio sakroiliaka di linea terminalis arteri ini bercabang menjadi arteri iliaka interna yang memvaskularisasi regio perinealis (area antara pantat dan alat kelamin) dan regio pudendalis (area sekitar alat kelamin).
Arteri iliaka interna bercabang menjadi:
1. Arteri pudenda interna, melanjutkan ke ventral menjadi arteri penis
2. Arteri spermatika interna, mengkuti duktus deferen, masuk ke dalam testis
3. Arteri spermatika eksterna, mensarafi bagian dorsal skrotum
4. Arteri skrotalis inferior.
Fisiologi
Ereksi penis merupakan hasil dari relaksasi otot polos penis yang pada dasarnya dimediasi oleh refleks spinal dan melibatkan proses saraf pusat dan pengintegrasian stimuli taktil, olfaktori, auditori, dan mental. (Anderson, 1995).
Pada ereksi penis dapat terjadi sekurang – kurangnya dua mekanisme, yakni psikogenik dan refleksogenik yang berinteraksi selama aktivitas seksual normal. Ereksi psikogenik diawali secara sentral sebagai respon terhadap rangsang pendengaran, penglihatan, pembauan atau imaginasi. Ereksi refleksogenik terjadi akibat pacuan pada reseptor sensoris pada penis, yang dengan interaksi spinal, menyebabkan aksi saraf somatis dan parasimpatis.
Pada stadium arrausal, aktivitas para simpatis memicu serangkaian kejadian dengan lepasnya nitric oxide, diakhiri dengan kenaikkan cGMP (cyclic guanosine monophosphate). Kenaikkan cGMP menyebabkan relaksasi pembuluh darah penis dan otot polos trabekuler.
Aliran darah ke dalam korpora kavernosa naik secara dramastis. Isian cepat ruang-ruang kavernosa akan menekan vena akibatnya aliran darah vena ke luar menurun. Kombinasi kenaikkan aliran darah masuk dan lambatnya darah keluar yang berlangsung cepat akan menaikkan tekanan intra kavernosa. Hasilnya ialah terjadi rigiditas penis progresif dan kondisi ereksi sempurna. (Wibowo, 2007).
Ereksi terjadi karena proses sebagai berikut. Arteri kavernosa dan jaringannya berdilatasi, menyebabkan darah mengalir ke dalam jaringan kavernosa. Relaksasi otot polos dinding trabekuler ruang lakuner jaringan kavernosa memberi ruang akibat kenaikkan aliran darah.
Perluasan ini akan menekan dinding trabekuler bagian luar jaringan kavernosa terhadap tunika albugenia di sekelilingnya. Akibatnya, vena yang keluar dari ruang lakuner melalui dinding trabekula dan tunika menjadi tertekan, mengurangi aliran keluar darah vena dari ruang lakuner.
Penutupan venosa terjadi secara pasif, sementara itu kontraksi muskulus isiokavernosus dapat mengkerutkan bagian proksimal korpora kavernosa dan juga akan menimbulkan penutupan vena.
Pelemasan terjadi akibat kontraksi otot polos jaringan arteri dan trabekula. Kontriksi arteri akan mengurangi aliran darah menuju ruang lakuner. Kontraksi trabekula menyebabkan pengosongan lakuna dan kontraksi ini juga akan menarik dinding lakuna bagian luar menjauhi tunika albuginia, dan membuka aliran vena (Guyton, 2006).
Pengendalian sistem ereksi melalui sistem saraf, tonus otot polos korpus kavernosum dikendalikan oleh proses biokimia yang kompleks di tingkat sistem saraf perifer dan sentral. Saraf otonom simpatis, parasimpatis, dan saraf somatis mengendalikan tonus otot polos korpus kavernosum dan sistem vaskulernya melalui hubungan neuroanatomi yang merupakan bagian integral inervasi dari traktus urinarius bawah. (Wibowo, 2007).
Ada tiga jenis saraf yang memelihara organ seksual, yaitu:
1. nervus simpatis torakolumbal: nervus hipogastrikus dan nervus simpatis lumbal
2. nervus parasimpatis sakral: nervus pelvikus yang kemudian umumnya dikenal sebagai nervus erigentes
3. nervus somatis pudendal
Tahap-Tahap Aktifitas Seksual Pria
1. Ereksi penis
Ereksi disebabkan karena impuls parasimpatis yang melepaskan nitric oxide dan atau peptide intestinal vasoaktif selain asetilkolin (Guyton, 2006). Selama ereksi, jaringan arteri memasok darah sekurang-kurangnya 100-140 ml. Pada puncak ereksi, tekanan intrakavernosa melebihi tekanan sistolik (Wibowo, 2007).
2. Lubrikasi
Selama perangsangan seksual, serabut saraf parasimpatis juga menyebabkan glandula uretral dan bulbouretral mensekresi cairan mukosa yang mengalir melewati uretra.
3. Emisi dan ejakulasi
Emisi adalah pergerakan semen ke dalam uretra. Ejakulasi merupakan proses terdorongnya semen keluar dari uretra di saat orgasme.
4. Resolusi
Pada fase terahir terjadi kontriksi otot polos trabekuler dan vasokontriksi arteriol yang memasok darah ke jaringan erektil. Terjadi aliran darah keluar dari sinus venosus sehingga penis menjadi lemas atau flaksid. Fase ini diperantarai oleh saraf adrenergik simpatis.
Mekanisme fungsi seksual melibatkan beberapa unsur : libido, ereksi dan ejakulasi. Disfungsi seksual dapat terjadi akibat gangguan fungsi tersebut dan kombinasinya.
Disfungsi Ereksi
1. Pengertian
Disfungsi ereksi adalah ketidakmampuan yang menetap atau terus-menerus untuk mencapai atau mempertahankan ereksi penis yang berkualitas sehingga dapat mencapai hubungan seksual yang memuaskan. Batasan tersebut menunjukkan bahwa proses fungsi seksual laki-laki mempunyai dua komponen yaitu mencapai keadaan ereksi dan mempertahankannya (NIH Consensus Development Panel on Impotence, 1993).
2. Etiologi (Penyebab)
Fazio dan Brock (sebagaimana dikutip oleh Wibowo, 2007) mengklasifikasikan penyebab disfungsi ereksi sebagai berikut:
Faktor Penyebab dan contohnya:
1. ketuaan
2. gangguan psikologis, misalnya: depresi, ansietas
3. gangguan neurologis, misalnya: penyakit serebral, trauma spinal, penyakit medula spinalis neuropati, trauma nervus pudendosus.
4. penyakit hormonal (libido menurun), misalnya: hipogonadism, hiperprolaktinemi, hiper atau hipo tiroidsm, Cushing sindrom, penyakit addison.
5. penyakit vaskuler, misalnya: aterosklerosis, penyakit jantung iskemik, penyakit vaskuler perifer, inkompetensi vena, penyakit kavernosus.
6. obat-obatan, misalnya: antihipertensi, antidepresan, estrogen, antiandrogen, digoksin.
7. kebiasaan, contohnya: pemakai marijuana, alkohol, narkotik, merokok.
8. penyakit-penyakit lain, contohnya: diabetes melitus, gagal ginjal, hiperlipidemi, hipertensi, penyakit paru obstruksi kronis.
3. Klasifikasi
Menurut Wibowo (2007) pembagian disfungsi ereksi dikelompokkan menjadi lima kategori penyebab yaitu:
a. Psikogenik
Disfungsi ereksi yang disebabkan faktor psikogenik biasanya episodik, terjadi secara mendadak yang didahului oleh periode stres berat, cemas, depresi.
Disfungsi ereksi dengan penyebab psikologis dapat dikenali dengan mencermati tanda klinisnya yaitu :
- Usia muda dengan awitan (onset) mendadak
- Awitan berkaitan dengan kejadian emosi spesifik
- Disfungsi pada keadaan tertentu, sementara pada keadaan lain, normal
- Ereksi malam hari tetap ada
- Riwayat terdahulu adanya disfungsi ereksi yang dapat membaik spontan
- Terdapat stres dalam kehidupannya, status mental terkait kelainan depresi, psikosis atau cemas.
b. Organik
Disfungsi ereksi yang disebabkan organik dibagi menjadi dua:
1) Neurogenik
Disfungsi ereksi yang disebabkan neurogenik ditandai dengan gambaran klinis:
- Riwayat cedera atau operasi sumsum tulang atau panggul
- Mengidap penyakit kronis (diabetes melitus, alkoholisme)
- Menderita penyakit neurologis tertentu seperti multipel sklerosis, stroke
- Pemeriksaan neurologik abnormal daerah genital (alat kelamin) / perineum.
2) Vaskuler
Disfungsi ereksi yang disebabkan oleh kelainan vaskuler dibagi dua, kelainan pada arteri dan kelainan pada vena. Disfungsi ereksi yang disebabkan oleh kelainan vaskulogenik arteria memiliki penampilan klinis sebagai berikut:
- Minat tehadas seks tetap ada
- Pada semua kondisi terjadi penurunan fungsi seks
- Secara bertahap terjadi disfungsi ereksi sesuai bertambahnya umur
- Menggunakan obat resep atau obat bebas terkait dengan disfungsi ereksi
- Perokok
- Kenaikan tekanan darah, terbukti dengan didapatkannya penyakit vaskuler perifer (bruit, denyut nadi menurun, kulit dan rambut berubah sejalan dengan insufisiensi arteri)
Disfungsi ereksi oleh karena kelainan vaskulogenik venosa memiliki gambaran klinis sebagai berikut:
- Tidak mampu mempertahankan ereksi yang sudah terjadi
- Riwayat priapismus (penis selalu tegang) sebelumnya
- Kelainan (anomali) lokal penis
c. Hormonal
Disfungsi ereksi yang disebabkan karena hormonal mempunyai gambaran klinis sebagai berikut:
- Hilangnya minat pada aktifitas seksual
- Testis atrofi, mengecil
- Kadar testosteron rendah, prolaktin naik
d. Farmakologis
Hampir semua obat hipertensi dapat menyebabkan disfungsi ereksi yang bekerja disentral, misalnya metildopa, klonidin dan reserpin. Pengaruh utama kemungkinan melalui depresi sistem saraf pusat. Beta bloker seperti propanolol dapat menurunkan libido
e. Traumatik paska operasi
- Patologi pelvis (proses penyakit pada panggul) dapat merusak jalur serabut saraf otonom untuk ereksi penis
- Reseksi abdominal perineal, sistektomi radikal, prostatektomi radikal, bedah beku prostat, prostatektomi perineal, prostatektomi retropubik, dapat merusak saraf pelvis atau kavernosus yang menyebabkan disfungsi ereksi
- Uretroplasti membranasea, reseksi transuretra prostat, spingkterotomi eksterna, insisi striktura uretra eksterna dapat menyebabkan disfungsi ereksi karena kerusakan serabut saraf kavernosus yang berdekatan
- Uretrotomi internal visual untuk striktur dapat menyebabkan kerusakan saraf kavernosus dengan fibrosis sekunder akibat perdarahan atau ekstravasasi cairan irigasi dapat menyebabkan disfungsi ereksi
- Radiasi daerah pelvis untuk keganasan rektal, kandung kemih atau prostat dapat juga menyebabkan disfungsi ereksi.