Depresi adalah gangguan yang heterogen. Ada beberapa klasifikasi depresi. Klasifikasi depresi berdasarkan klasifikasi DSM III-R (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Revised) yang dikeluarkan oleh Ikatan Ahli Psikiatri Amerika.
Menurut klasifikasi tersebut, depresi major dan disritmia (minor) merupakan sindrom depresi murni, sedangkan gangguan bipolar dan gangguan siklotimik memperlihatkan depresi yang diselingi dengan mania.
Klasifikasi sederhana depresi adalah sebagai berikut :
- Depresi reaktif / sekunder; paling umum dijumpai sebagai respons terhadap penyebab nyata, misalnya : penyakit dan kesedihan. Dulu dikenal sebagai depresi eksogen.
- Depresi endogen; merupakan gangguan biokimia yang ditentukan secara genetik, bermanifestasi sebagai ketidakmampuan untuk mengatasi stres yang biasa.
- Depresi yang berhubungan dengan gangguan afektif bipolar, yaitu depresi dan mania yang terjadi bergantian.
Etiologi depresi multifaktorial, tetapi depresi diduga melibatkan perubahan pada hubungan reseptor-neurotransmiter pada sistem limbik. Serotonin dan norepinefrin adalah neurotransmiter utama yang terlibat, tetapi dopamin juga dapat berhubungan dengan depresi.
Riwayat keluarga depresi sering ditemukan. Gangguan bipolar memiliki komponen depresif yang dapat ditemukan, tetapi memiliki kesatuan klinis yang berbeda dari depresi. Terdapat kemungkinan defek pada kromosom II atau X, tetapi penelitian genetik terbaru belum dapat disimpulkan.
Tidak semua penderita depresi memerlukan antidepesi. Depresi ringan yang jelas penyebabnya biasanya sembuh dengan sendirinya atau cukup dengan psikoterapi; depresi hebat dengan bahaya bunuh diri yang memerlukan perbaikan cepat, lebih cocok diobati dengan ECT (electro convulsion therapy); sedang pada depresi endogen pilihan jatuh pada antidepresi trisiklik. Depresi yang menyertai penyakit somatik kronik dan psikoneurosis lebih baik diobati dengan klordiazepoksid dan psikoterapi.
Bila pengobatan dengan antidepresi selama 3 – 4 minggu tidak memberikan perbaikan klinis maka pengobatan harus ditinjau kembali dan dipertimbangkan tindakan lain, misalnya ECT atau pemberian penghambat MAO.
Penghentian pengobatan sebaiknya dilakukan secara bertahap. Pengobatan reaksi depresi pada psikosis memerlukan kombinasi antara antidepresi dengan neuroleptik.
Pilihan antidepresi dapat juga didasarkan atas efek sampingnya, misalnya amitriptilin dan doksepin memberikan efek sedasi kuat, nortriptilin dan desimipramin memberikan efek sedasi sedang dan protriptilin tidak memperlihatkan efek sedasi.
Untuk orang usia lanjut sebaiknya dipilih obat yang efek antikolinergiknya ringan mengingat resiko terjadinya efek yang tidak diinginkan.